Minggu, 29 November 2009

Bacaan Basmalah dalam sholat

Bacaan basmalah dalam sholat

Oleh: Abdulloh Faqieh

Para ulama sepakat bahwa bacaan“basmalah” merupakan sebagian ayat dari surat An Naml, tapi mereka berbeda pendapat tentang basmalah di awal surat. Tentang hal tersebut ada 3 pendapat yang masyhur:

1. Bahwa basmalah ayat dari Al Fatihah dan dari setiap surat, oleh karena itu membacanya wajib dalam Fatihah, dan hukumnya seperti dalam Fatihah baik dalam sir dan jahrnya. Adapun dalil yang menguatkan ini adalalah dari haditsnya Nu’aim Al Mujammir dia berkata:

صليت وراء أبي هريرة فقرأ: بسم الله الرحمن الرحيم ثم قرأ بأم القرآن،، الحديث

Artinya: Saya sholat Abu Hurairah dia membaca “ Bismillahirrohmaanirrohiim” kemudian baca Al Fatihah …………

Kemudian di akhir hadits tersebut Abu Hurairah berkata:

و الذي نفسي بيده إني لأشبهكم صلاة برسول الله صلى الله عليه وسلم

(رواه النسآئي وابن خزيمة وابن حبان)

Artinya: Demi Dzat yang aku di tangan-Nya sesungguhnya aku menyerupakan kepada kalian dengan sholatnya Rosululloh SAW (H.R.Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Ahmad ,Abu Tsur dan Abu Ubaid.

2. Basmalah merupakan ayat tersendiri yang diturunkan untuk memisahkan diantara surat, dan membacanya boleh bahkan disunahkan , akan tetapi tidak disunahkan membaca jahr, hal ini berdasarkan Hadits dari Anas, dia berkata:

صليت خلف رسو ل الله صلى الله عليه وسلم وخلف أبي بكر وعمر وعثمان، وكانوا لا يجهرون ببسم الله الرحمن الرحيم (رواه النسآئي وابن حبان والطحاوي)

Artinya: Saya sholat di belakang Rosululloh SAW. Dan Umar dan Utsman, mereka tidak mengeraskan dengan Bismillahirrohmaanirrohiim. (H.R. Nasa’i, Ibnu Hibban dan At Thohawiy)

Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Sofyan Tsauriy dan Ahmad bin Hanbal

3. Basmalah bukan termasuk Al Fatihah dan bukan selainnya, dan membacanya makruh baik sir maupun jahr dalam sholat Fardlu. Adapun sholat sunnah boleh. Madzhab ini tidak kuat. Ini adalah pendapat Imam Malik.

Ibnu Qoyyim menyimpulkan antara pendapat pertama dan kedua bahwa Rosululloh SAW. terkadang mengeraskan Basmalah dan terkadang merahasiakannya (membaca sir).

Sumber: 1. Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Daar el Fikr (1983): 115 jilid 1

2. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Daar el Kutub el Islamiyah : 89 juz 1

Jumat, 27 November 2009

Ibadah haji


Ibadah haji adalah salah satu rukun islam yang diketahui seluruh umat secara umum, telah disepakati atas kefardhuannya. Jika seseorang menyatakan bahwa haji tidaklah wajib, maka dia keluar dari islam. Kewajiban haji ini adalah bagi setiap muslim yang mampu, sekali dalam seumur hidup, begitupula dengan umrah.

Ibadah haji dijadikan sebagai rukun islam yang kelima, rukun penutup. Hal ini menunjukkan bahwa rukun haji adalah penyempurna keislaman seseorang. Sebab dengan berhaji seorang muslim telah menyempurnakan rukun islamnya.
Sebagian ulama menuturkan tentang keutamaan ibadah haji ini, bahwa didalamnya terdapat beraneka ragam ibadah, ibadah qauliyyah (perkataan/bacaan tertentu), ibadah badaniyah (bertumpu pada kekuatan fisik), ibadah maaliyah (bertumpu pada kelebihan harta), dan ibadah qalbiyyah (menjaga dan menata hati). Semuanya terhimpun dalam satu ibadah yaitu haji.

Seseorang yang berangkat menunaikan ibadah haji, berarti dia telah menghadapkan semua miliknya, harta, badan, kemampuan dan kebersihan hati hanya kepada Allah SWT. Kepasrahan yang tampak pada dirinya dan ketawakalan yang mantap di hatinya menunjukkan iman yang sempurna. Meninggalkan sanak saudara, kekasih tercinta demi Allah SWT. Disinilah akan tampak jiwa mukmin sejati, dimana dia lebih mengutamakan kecintaan Allah daripada kecintaan manusia.

Lebih-lebih jika dia telah sampai di Makkah, menatap Ka’bah Al Musyarrofah, Baitullah, lalu meneteskan air mata karena melihat kebesaran dan keagungan Allah disana, dan merasakan kehinaan dan kekerdilan dirinya di hadapan Allah SWT. Ketika memenadang Ka’bah dia tidak lagi ingat siapapun, yang ada di mata dan ahtinya adalah kemuliaan Allah, hanya Allah yang selalu disebut-sebutnya. Subhanallah, orang semacam inilah yang dekat kepada Allah SWT.

Kewajiban Haji

Kapan ibadah haji ini diwajibkan?, disini ada khilaf. Pendapat yang shohih menurut kebanyakan ulama Syafi’iyyah adalah tahun 6 Hijriyah. Sebagian mengatakan pada tahun ke 9 Hijriyah, tahun al Wufud, tahun dimana banyak kontingen atau utusan dari beberapa tempat datang kepada Rasulullah dan menyatakan islam dihadapan beliau. Pendapat ini dibenarkan oleh Qadhi ‘Iyadh dan Al Qurthubi dan imam lainnya.. Sementara ada sebagian mengatakan, diwajibkan pada tahun 5 Hijriyah.

Ibadah Haji diwajibkan dengan firman Allah SWT (yang artinya):
“ Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup (mampu) mengedakan perjalanan ke Baitullah “ (QS.Ali ‘Imraan 97)
Yang dimaksud dengan kemampuan ialah bila seseorang memiliki apa yang diperlukannya dalam perjalanan untuk menunaikan haji, berangkat dan kembali, berupa kesehatan tubuh, bekal, kendaraan dan yang semacam itu disamping nafkah untuk isteri dan anak-anaknya dan siapa yang ditanggungnya sampai dia kembali ke tanah airnya.

Kemampuan ini tentunya berbeda-beda menurut perbedaan keadaan manusia itu sendiri, tempat tinggalnya dan kendaraannya. Sebab masing-masing daerah memiliki perbedaan ekonomi, biaya dan alat transportasi.

Al Habib Abdullah Al Haddad dalam An Nashoihud Diniyyah menyebutkan, barangsiapa yang memaksakan diri padahal dia tidak wajib haji, karena kerinduannya kepada Baitullah al Haram dan karena keinginannya untuk melaksanakan syariat agama islam, maka yang demikian menunjukkan atas kesempurnaan iman dan tentu pahalanya lebih banyak dan besar.
Akan tetapi dengan syarat dia tidak menyia-nyiakan dengan sebab perjalanan hajinya sedikitpun dari hak-hak Allah, baik dalm perjalanan maupun di tanah airnya, jika tidak begitu maka dia berdosa. Seperti bila dia berangkat dan meninggalkan orang-orang yang wajib dia nafkahi dalam keadaan terlantar tidak memiliki apa-apa, atau dalam perjalanannya mengandalkan orang lain dengan meminta-minta kepada mereka atau menyia-nyiakan sholat fardhu atau melakukan perbuatan yang diharamkan dalam perjalanan. Orang semacam ini adalah ibarat orang yang membangun istana tapi pada waktu sama dia menghancurkan kota.

Maka seharusnya setiap orang yang menunaikan ibadah haji,benar-benar mempersiapkan dhohir dan bathin, sehingga setibanya di Al Haramain, Makkah dan Madinah dia tahu apa yang harus dikerjakannya. Dia harus tahu bagaimana menghormati kedua tempat suci itu dan apa saja adab atau etika saat berada disana. Jangan sampai dia melakukan haji tapi diselingi dengan kemungkaran dan pelanggaran sehingga bukannya Rahmat dan Ridho Allah yang didapatnya, tapi justru Murka dan Kemarahan Nya. Sebab tidaklah sama kemungkaran yang dikerjakan di dua kota suci tersebut dengan kota lainnya. Akan lebih berat sangsi dan akibatnya.

Keutamaan Haji

Banyak sekali riwayat yang datang menjelaskan keutamaan ibadah haji, diantaranya adalah sabda Rasulullah SAW (yang artinya):
“ Barangsiapa berhaji ke Baitullah, lalu dia tidak berkata keji dan tidak berbuat kefasikan, maka dia akan keluar dari dosa-dosanya seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya “ (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah RA)
Imam al Baihaqi dan Ad Daaruquthni meriwayatkan bahwa Rasululah SAW bersabda (yang artinya):
“ Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk haji atau umrah, lalu meninggal, maka dia diberi pahala sebagai orang yang haji dan umrah sampai hari kiamat. Dan siapa yang meninggal di salah satu Al Haramain (Makkah atau Madinah) maka dia tidak dihisab, lalu dikatakan kepadanya: ”Masuklah ke surga”.

Rasulullah saw bersabda (yang artinya):
“ Haji yang mabrur lebih baik daripada dunia dan seisinya, dan haji mabrur tiada balasan yang setimpal baginya kecuali surga “ (HR. Bukhori Muslim dari Abu Harairah).
Rasulullah saw bersabda (yang artinya):
“ Orang yang haji dan umrah adalah tamu Allah dan para pengunjung-Nya, jika mereka memohon sesuatu kepada-Nya, maka Dia akan memberikannya. Dan jika mereka minta ampun, maka Dia akan mengampuninya dan jika mereka berdoa maka dikabulkan doa mereka dan jika mereka memohon syafaat maka mereka diberi syafaat “ (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Abdullah bin Abbas meriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda(yang artinya):
“ Turun setiap hari pada Ka’bah ini 120 rahmat, enam puluh untuk orang yang thawaf, empat puluh untuk orang yang sholat disana dan dua puluh untuk orang yang memandang (nya) “ (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi)

Rasulullah saw bersabda (yang artinya):
“ Ya Allah ampunilah orang-orang yang haji dan orang yang dimohonkan ampun oleh orang yang haji “ (HR. Al Hakim dari Abu Hurairah)
Imam Mujahid dan lainnya dari kalangan Ulama berkata :
“ Sesungguhnya orang-orang yang haji manakala sampai di Makkah, maka mereka disambut oleh malaikat. Mereka (para malaikat) menjemput orang-orang yang haji. Mereka memberi salam kepada orang-orang yang mengendarai onta, menjabat tangan para pengendara keledai (binatang) dan mereka memeluk para pejalan kaki dengan pelukan hangat “.
Imam Hasan Al Bashri berkata : “ Barang siapa yang meninggal setelah ramadhan atau setelah perang fi sabilillah atau setelah haji maka dia meninggal sebagai syahid “. (lihat Ihya’ Ulumiddin bab Haji)

Ancaman bagi yang mampu tapi tidak berhaji

Rasulullah SAW bersabda (yang artinya):
“ Barang siapa memiliki bekal dan kendaraan untuk menyampaikannya ke Baitullah al Haram, lalu dia tidak berhaji, maka tiada urusan baginya mau mati dalam keadaan Yahudi atau Nashrani “. (HR. At Tirmidzi dan al Baihaqi dari Ali bin Abi Thalib)

Dari hadits diatas Ulama mengambil hikmah, bahwa haji akan menghantarkan pelakunya pada husnul khotimah, kebahagiaan dan meninggal dalam islam.
Rasulullah Saw bersabda (yang artinya):
“ Sungguh seorang hamba telah Aku sehatkan jasmaninya, Aku luaskan hartanya, lalu berlalu kepadanya lima tahun sedang dia tidak datang kepada-Ku (berhaji), maka dia terjauhkan dari Ridho (Ku) “ (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi dari Abu Sa’id al Khudri).

Harta (bekal) untuk haji

Seharusnya harta yang digunakan untuk beribadah kepada Allah adalah harta yang bersih, halal dan didapat dengan cara yang halal menurut agama. Bagaimana akan sempurna dan diterima ibadah haji seorang hamba jika harta yang dipakainya sebagai bekal adalah dari harta haram, mencuri, menipu dan hasil riba (membungakan uang) atau dari jalan lain yang tercela dan tidak dibenarkan menurut agama.

Ada sebuah peringatan dari Rasulullah SAW, bahwa siapa yang berhaji dengan harta yang halal (bersih), berangkat dengan hati yang bersih pula dan tunduk kepada Allah, maka jika dia bertalbiah: “ Laibbaik Allahumma Labbaik (Ya Allah aku datang memenuhi panggilanMu), maka ada seruan dari langit : “ Labbaik wa Sa’daik (Allah kabulkan hajimu), kebahagiaan untukmu, perbekalanmu dari barang halal, kendaraanmu halal, maka hajimu mabrur tiada dosa bagimu”. Tetapi jika dia berangkat dengan harta yang kotor, diperoleh dengan cara haram. Pada saat dia bertalbiah, maka ada seruan dari langit :”Panggilanmu tidak diterima, tiada kebahagiaan bagimu, perbekalan dan nafakahmu haram, hajimu tertolak dan mendatangkan dosa“. Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Mu’jamul Ausath dari Abu Hurairah RA. Wallahu A’lam.

Selasa, 24 November 2009

Hukum parfum beralkohol

Bagaimana hukum menggunakan parfum (minyak wangi) yang mengandung Alkohol?
Dikutip Dari Buku Terbaru Ust. Novel Bin Muhammad Alaydrus

Inilah Jawabannya

Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan parfum (minyak wangi) atau cologne yang mengandung Alkohol?


Jawab:

Para ulama berbeda pendapat tentang kenajisan atau kesucian Alkohol yang terdapat di dalam parfum (minyak wangi) dan sejenisnya. Di antara mereka ada yang menyatakan kenajisannya secara mutlak dan ada pula yang menyatakan bahwa alkohol yang terdapat di dalam parfum termasuk najis yang dimaafkan. Karena memakai parfum bukanlah sesuatu yang sangat memaksa (bukan sebuah keharusan), maka lebih baik jika kita memilih pendapat yang lebih aman, yang lebih berhati-hati.

Dalam fatwanya, Habib 'Umar bin Sâlim bin Hafîdz menjelaskan bahwa seandainya parfum yang mengandung alkohol tersebut diminum dan ternyata memabukkan, maka parfum tersebut tergolong sebagai khamr. Sebab, dalam sebuah Hadis, Rasulullah saw bersabda:

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
ِSegala sesuatu yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram. (HR Muslim)

Sebagian besar ulama ahli menyatakan bahwa khamr dan semua benda cair yang memabukkan adalah najis, baik secara lahiriah maupun batiniah. Oleh karena itu, kendati ada ulama yang berpendapat akan kesuciannya, setiap Muslim yang ingin menjaga sisi keagamaannya, maka hendaknya ia tidak menggunakan parfum yang mengandung alkohol tersebut. Seandainya tubuh atau pakaian yang ia kenakan terkena parfum itu, maka hendaknya ia segera mensucikannya. Janganlah ia shalat dengan pakaian yang terkena parfum tersebut.

Minggu, 01 November 2009

Pidato Sayidina Abu Bakar As-Shidiq setelah dibai'at

Baru-baru ini para pejabat yang baru saja dilantik (di bai'at)merasa bangga dengan jabatan barunya.dan banyak janji-janji yang belum tentu ditepati, Marilah kita tengok sejenak bagaimana kondisi ini kita sinkronkan dengan Abu bakar As-Shidiq ketika di bai'at jadi kholifah (presiden)


setelah Rasulullah wafat pada hari senin 12 Rabi’ul Akhir 11 H, tokoh2 kaum muslimin baik dari kalangan anshar maupun muhajirin disibukkan dengan pembahasan siapa yang akan menggantikan Rasulullah Saw sebagai kepala negara. setelah bermusyawarah, kaum muslimin membai’at Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai Khalifah di Saqifah Bani Sa’idah. keesokan harinya barulah kaum muslimin secara keseluruhan membai’at Abu Bakar Ash Shiddiq dan tidak lama setelah itu kaum muslimin menguburkan jazad Rasulullah Saw.

Setelah Abu Bakar Ash Shiddiq di bai’at menjadi khalifah, beliau mengucapkan pidato politik pertamanya.

“amma ba’du. Wahai manusia, aku telah diserahi kekuasaan untuk mengurus kalian, padahal aku bukanlah orang terbaik dari kalian. untuk itu, jika aku melakukan kebaikan, maka bantulah aku, jika aku berbuat salah, maka ingatkanlah aku. jujur itu amanah, sedang dusta itu khianat. orang lemah di antara kalian adalah orang kuat di sisiku hingga aku berikan haknya insya Allah, dan orang kuat di antara kalian adalah orang lemah di sisiku hingga aku mengambil haknya darinya insya Allah. tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah menjadikan hidup mereka hina dan dihinakan, tidaklah perbuatan zina menyebar di suatu kaum, melainkan Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. untuk itu, taatlah kalian kepadaku selama aku masih taat kepada Allah dan RasulNya. jika aku bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, maka bagi kalian tidak ada ketaatan kepadaku. dirikanlah shalat kalian, semoga Allah merahmati kalian.”

pidato khalifah ini berisi lima dasar politik Daulah Islam ke depan. lima dasar tersebut adalah :

1. memelihara syariat Allah dan mewujudkan kedaulatannya.

2. membangun oposisi yang konstruktif

3. memperhatikan kaum lemah hingga kuat

4. melakukan jihad fi sabilillah secara kontinyu

5. memerangi ketidakadilan

Pahala korban untuk orang yang sudah meninggal



HUKUM MELAKUKAN KORBAN UNTUK ORANG YANG TELAH MATI
Soal; adakah harus kita melakukan korban untuk orang lain khususnya yang telah mati? Adakah sampai pahala kepadanya?

Jawaban;

بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:

Dalam masalah ini, para ulama’ Syafi’ie sendiri berbeda pandangan.[1] Menurut Imam Hasan al-‘Ubadi; harus membuat korban bagi pihak orang yang telah mati kerana korban tergolong dalam jenis sedekah dan ijmak para ulama' bahawa sedekah bagi pihak si mati adalah memberi manfaat dan sampai kepadanya.[2] Imam Abu Daud, Tirmizi dan al-Baihaqi meriwayatkan hadis yang menceritakan tentang Saidina Ali bin Abi Talib;

أنه يضحي بكبشين عن النبي(صلى) و كبشين عن نفسه و قال : إن رسول الله(صلى) أمرني أن أضحي عنه أبدا فأنا أضحي عنه أبدا
“Bahwa ia (yakni Ali r.a.) menyembelih korban dengan dua ekor biri-biri bagi pihak Nabi s.a.w. dan dua ekor bagi pihak dirinya sendiri dan ia berkata; ‘Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. menyuruhku agar menyembelih korban untuknya selama-lamanya, maka akupun menyembelih korban bagi pihaknya selama-lamanya (yakni selagi aku hidup)”.

Kata Imam al-Baihaqi; jika sabit hadis ini maka ia menjadi dalil sahnya menyembelih korban bagi pihak orang yang telah mati.[3]

Imam al-Baghawi, Sahibul-‘Uddah dan Imam ar-Rafi’ie pula berpandangan; tidak sah berkorban bagi pihak orang mati kecuali dengan wasiat darinya. Jika ia mewasiatkannya, haruslah berkorban bagi pihaknya.[4] Pendapat kedua inilah yang ditegaskan dalam kitab-kitab mazhab Syafi’ie mutakhir yang masyhur seperti al-Iqna’[5], Mughni al-Muhtaj[6], Kifayatul-Akhyar[7], Sabilal-Muhtadin dan sebagainya, malah Imam Nawawi sendiri dalam matan Minhajnya menyebutkan pendapat ini.[8] Dalil pandangan ini ialah firman Allah;

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahawa sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan (balasan) apa yang diusahakannya”. (an-Najm: 39)

Dalam pada itu, jika seseorang itu telah bernazar dengan menentukan binatang yang akan disembelihnya sebagai korban, lalu ia mati sebelum sempat menyembelih korbannya itu, maka dalam keadaan ini harus seseorang menyembelih bagi pihaknya sekalipun tanpa wasiat darinya.[9]

Selain itu, jika seseorang menyembelih korban untuk dirinya dan mensyaratkan pahala korban itu untuk orang lain (yakni memasukkan orang lain dalam pahalanya), maka ini adalah harus.[10] Inilah yang dapat difahami dari hadis Saidatina ‘Aisyah r.a. tadi yang menceritakan bahawa Nabi s.a.w. menyembelih binatang korban dan mendoakan korban itu untuk dirinya, ahli keluarganya dan umatnya di mana baginda berkata tatkala menyembelih binatang korban itu;

بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan ahli keluarga Muhammad serta dari umat Muhammad”.
(Riwayat Imam Muslim)

Adapun menyembelih korban bagi pihak orang lain yang masih hidup, maka tidak harus (atau tidak terhasil) melainkan dengan izinnya tanpa khilaf di kalangan ulama’ mazhab Syafi’ie. Jika tanpa inzinnya, tidak terhasil korban itu untuknya.[11] Korban tersebut, jika merupakan yang ditentukan dengan suatu nazar, ia terhasil untuk orang yang melakukan korban. Jika bukan yang ditentukan dengan suatu nazar, maka tidak terhasil untuknya. Namun Syeikh Ibrahim al-Marwaruzi berpendapat; korban yang dilakukan untuk orang lain tanpa izinnya terhasil secara mutlak (yakni secara keseluruhan) untuk orang yang melakukan korban (sama ada korban itu korban nazar atau bukan).[12]

Namun ketidakharusan (atau ketidakhasilan) korban bagi pihak orang hidup tanpa izin itu dikecualikan bagi keadaan-keadaan berikut;
1. Seorang yang berkorban bagi pihak ahli keluarganya, maka terhasil dengannya sunat kifayah untuk mereka sekalipun tanda ada keizinan dari mereka –atau dari sebahagian mereka- terlebih dahulu. Begitu juga dengan seorang yang menyembelih korban untuk dirinya dan memasukkan orang lain dalam pahala korbannya.
2. Seekor binatang yang ditentukan dengan nazar, jika disembelih oleh orang lain (yakni bukan oleh orang yang bernazar) pada waktu korban, maka ianya sah kerana binatang korban yang telah ditentukan dalam nazar tidak perlu lagi kepada niat tatkala menyembelihnya, maka jika ia dilakukan oleh orang lain adalah dikira (yakni dianggap sah korban itu).
3. Imam/Pemimpin melakukan korban bagi pihak kaum muslimin dengan uang dari Baitul-Mal –ketika kewangan Baitul-Mal mengizinkan-, maka ia harus.
4. Wali melakukan korban dengan hartanya sendiri bagi pihak orang-orang dibawah jagaannya yang ditegah menggunakan harta (seperti anak-anak, orang gila, bodoh dan al-mahjur), hukumnya adalah harus. Adapun jika ia ingin menggunakan harta/uang dari milik mereka, maka tidak harus.[13]

Tidak sah dilakukan korban bagi janin yang berada dalam kandungan sebagaimana tidak dikeluarkan zakat fitrah baginya.[14]

Wallahu A'lam.

Sumber: ilmudanulamak.blogspot.com