Senin, 04 Mei 2009

Pentingnya bermadzhab dalam Islam


Pengajian Ahad Pagi, 3 Mei 2009 di masjid Baitul Muslimin Klaten

Ikhwanii rohimakumulloh….. kita tentunya tahu akan sesuatu hukum, lebih-lebih hukum Syari’at yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, semuanya berkat kehadiran para ulama. Berangkat dari hal tersebut muncul pertanyaan siapakah ulama itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita buka kembali Firman Allah dalam Surat Al Faathir :28:

Artinya:” Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya, hanyalah ulama”

Jadi ulama adalah salah satu di antara hamba-hamba Allah yang memiliki rasa takut kepada Allah. Pada sisi mereka tempat mengadu segala permasalahan umat baik permasalahan dunia maupun akhirat. Karena para ulamalah yang tahu dan mengerti sesuatu tentang hal tersebut. Maka Allah SWT memerintahkan kita untuk bertanya kepada ulama apabila kita tidak tahu, seperti firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 43:

Artinya:”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengerti”

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap manusia yang merasa dirinya tidak tahu atau belum mengerti akan sesuatu, lebih-lebih hukum syari’at wajib hukumnya uintuk bertanya kepada seseorang yang lebih mengerti yaitu ulama.

Ulama-ulama yang dimaksud disini adalah para ulama ahli ijtihad, bukan semua ulama atau sering disebut sebagai ulama madzhab. Madzhab sendiri artinya adalah jalan. Dalam masalah agama sering disebut aliran. Sebenarnya banyak sekali aliran dalam Islam sejak masa sahabat dan munculnya perbadaan pendapat dalam masalah cabang agama. Setiap pendapat lalu disebut dengan istilah madzhab. Maka dahulu pada zaman sahabat ada madzhab Aisyah, madzhab Abdullah bin Umar, madzhab Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain.Sampai pertengahan abad ke empat muncul sampai 13 madzhab yang terkenal dan pendapat mereka dikuatkan oleh para pengikut mereka, termasuk di dalamnya madzhab empat yang populer yaitu Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali.Selanjutnya madzhab empat tadi sampai sekarang mendapat perhatian intelektual dari para pengikutnya.

Lalu sekarang muncul pertanyaan bagaimana hukumnya bermadzhab bagi orang awam? Bagi orang awam bermadzhab adalah hukumnya wajib. Alasan –alasan mengapa hukumnya wajib adalah sebagai berikut:

1. Memang tidak ada perintah yang shorih atau jelas mengenahi wajibnya bermadzhab, namun ada Kaidah fiqhiah yang mengatakan:

مَا يَتِمُّ الْواَجِبَ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ اْلوَاجِبُ

Artinya: Apa yang mestinya ada sebagai perantara untuk mrncapai hal yang wajib, maka hukumnya menjadi wajib.

Sebagai contoh misalnya kita membeli air, apa hukumnya? Tentunya hanya mubah atau boleh, namun apabila kita akan sholat fardlu, kemudian tidak ada air, dan yang ada hanyalah air yang harus dibeli dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?. Hukum membeli air berubah dari mubah menjadi wajib, karena perlu untuk sholat yang wajib.

Demikian pula halnya dalam syariah hukum Islam tidak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tidak mengetahui samudra syari’ah yang sangat luas dari seluruh madzhab dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rosul maka kita tidak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa-fatwa para imam ahli hadits zaman dahulu maka bermadzhab hukumnya menjadi wajib.

2. Bagi orang awam bermazhab hanyalah semata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama, sebab tidak mungkin mereka mencari sendiri didalam Al Qur’an dan hadits, Bisa dibayangkan bagaiman sulitnya orang awam mempelajari semua ajaran agamanya melalui Al Qur’an dan hadits.Sebab kita ini masih buta akan ilmu-ilmu yang harus di miliki oleh seorang mujtahid (orang yang bersungguh-sungguh menggali hukum dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan Hadits), seperti ilmu Musthlahul Hadits, Ushul Fiqh, ilmu Tafsir, hadits-hadits hokum, ayat-ayat Nasikh dan mansukh, Bahasa Arab, Filsafat hukum Islam dll. Sebagaiman sabda Rosululloh SAW:

مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Artinya: Barangsiapa menafsiri Al Qur’an dengan pendapatnya sendiri maka nerakalah tempat yang cocok baginya.

Jadi apabila kita menemukan permasalahan tentang suatu hukum, jangan kita menjawab sebisanya biar dikatakan sebagai orang yang ’alim, sementara kita belum mempunyai ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid.

Sebagai contoh pentingnya madzhab adalah sebagai berikut: ada dua orang namanya Zaid dan Umar setelah keduanya wudlu kemudian ke pasar, keduanya membeli sesuatu dan menyentuh perempuan. Lalu keduanya akan sholat, Zaid wudlu sedangkan Umar tidak wudlu, Zaid tanya sama Umar,” Kenapa kamu tidak wudlu?” Bukankah tadi kamu menyentuh perempuan, Umar menjawab,”aku bermadzhabkan Maliki,” Zaid berkata,” Wudlumu tidak sah dalam Madzhab Maliki dan tidak sah pula dalam Madzab Syafi’i, karena dalam madzhab Maliki wudlu harus menggosok anggota wudlu, tadi wudlumu hanya menngusap saja, jadi kamu berwudlu menggunakan cara Syafi’i giliran bersentuhan dengan wanita kamu menggunakan madzhab Maliki, Maka bersucimu tidak sah secara Maliki dan telah batal menurut Syafi’i.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan madzhab tidak wajib.lalu siapa yang bertanggung jawab tentang wudlunya tadi, Ia butuh sanad yang harus dipegang pada sunah nabi SAW dalam wudlunya, sanadnya bertemu pada Imam Syafi’i atau Imam Malik? Atau pada lainnya ? atau tidak berpegang pada salah satu seperti contoh di atas.

Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh asalkan sesuai dengan situasinya, apabila kita pindah ke daerah malikiyyun maka tak sepantasnya bersikukuh dengan madzhab Syafi’inya.

Demikian pula kita di Indonesia wilayah Syafi’iyyun tak sepantasnya kita bersikeras mencari madzhab lain.

Contoh lain dalam masyarakat kita Indonesia meskipun ada kelompok yang mengklaim tidak menggunakan madzhab namun dalam praktiknya tetap saja cara ritual ibadahnya cenderung mengikuti Syafi’i karena melalui madzhab ini bangsa Indonesia mengenal Islam. Masyarakat Saudi juga demikian walaupun mereka mengklaim tidak bermazhab namun dalam praktiknya menerapkan madzhab Hanbali.karena masyarakatnya mengenal Islam melalui Madzhab Hanbali.

Untuk itu marilah kita senantiasa dekat dengan para ulama. Karena merekalah orang-orang sholeh yang akan menuntun kita untuk dekat rob kita. Dan semoga kita nanti di Akhirat akan berkumpul bersama mereka karena Rosululloh mengatakan bahwa :

اَلْمَرْءُ مَعَ مَنْ اَحَبُّ

Seseorang nanti di akhirat bersama orang yang dicintainya

.

Jadi penting sekali peranan ulama dalam menyampaikan risalah-risalah dari Rosululloh SAW. Sehingga kita bisa meneladaninya, dan semakin lama ulama tadi tidak semakin banyak tapi semakin sedikit , Hal ini dapat kita lihat ulama yang kharismatik dan mempunyai ilmu yang tinggi sudah banyak yang dipanggil oleh Allah SWT. Kalau ulama sudah banyak yang diambil maka sebagai pertanda akan dicabut ilmu yang diberikan Allah pada hambanya, sebagaimana sabda Rosululloh SAW:

عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ عَمْرٍوبْنِ الْعَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ اْلعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لمَ ْيُبْقِ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوْساً جُهَّالاً فَسُئِلُواْ فَافْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا .

Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata: aku mendengar Rosululloh SAW berkata: Sesumgguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-Nya kecuali dengan wafatnya para ulama, sehingga orang-orang yang bodoh menjadi kyai (kepala), maka ketika mereka ditanya suatu masalah menjawab dengan tanpa didasari ilmu, maka tersesatlah dan menyesatkan.

Semoga ada manfaatnya Waallohu a’lam.

Daftar Pustaka

1. Qur’an in Word Ver 1.0.0 Digital , moh.taufiq@gmail.com

2. A. Ma,ruf Asrori & M.Rofiq Zakaria, Khotbah Jumat Aktual, alMiftah Surabaya hal 66. cet 1998

3. http://majlisrosulullah.org oleh Habib Mundzir Al Musawa.

4. http://salam-online.web.id

1 komentar:

Allamah Alauddin mengatakan...

Nukilan Perkataan Para As-salafus Sholih Tentang “PENTINGNYA BERMADZHAB” :

Abdullah bin Mubarak (seorang ulama’ Hadist dari Khurasan) R.A. pernah berkata: “Jika Allah s.w.t. tidak membantu saya dengan perantaraan Abu Hanifah dan Sufyan (dua ulama’ Fiqh), niscaya aku sama saja seperti orang awam (yang tidak memahami Hadist-hadist Nabi (صلى الله عليه و اله و سلم) “.lihat “Tibyiidh As-Shohafiyyah” m/s 16
Abdullah bin Mubarak R.A. pernah berkata mengenai fiqh Imam Abu Hanifah R.A.: “Jangan kamu katakan fiqh ini (mazhab Imam Abu Hanifah) merupakan pendapat beliau, tetapi katakanlah, ia (mazhab Abu Hanifah) merupakan tafsiran bagi hadist Nabi (صلى الله عليه و اله و سلم). Lihat Kitab “Manaqib Al-Muaffaq Al-Makki” m/s 234
Imam Ahmad bin Hanbal R.A. pernah berkata (seperti yang diriwayatkan oleh anaknya Soleh R.A.): “seseorang yang ingin memberi fatwa perlulah terlebih dahulu memahami keseluruhan Al-Qur’an, mengetahui sanad-sanad hadist Nabi (صلى الله عليه و اله و سلم) dan mengetahui Sunnah-sunnah. (lihat Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah, “I’lamul Muaqi’iin”, jilid 2 m/s 252 )
Imam As-Syafi’e R.A. pernah menegaskan: “Seseorang tidak boleh memberi fatwa dalam agama Allah kecuali dia mengetahui keseluruhan Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya seperti nasikh dan mansukh, ayat muhkam dan mutasyabih, ta’wil dan tanzil, ayat makkiyah atau madaniyyah. Dia juga perlu mengetahui tentang hadist-hadist Nabi (صلى الله عليه و اله و سلم) serta ilmu-limunya (‘ulumul hadist) seperti nasikh dan mansukh, dan lain-lain. kemudian itu dia juga perlu menguasai Bahasa Arab, Sya’ir-sya’ir Arab, dan sastra-sastranya (karena Al-Qur’an dan Hadist dalam Bahasa Arab dan mengandungi kesastraannya. Setelah itu, dia juga pelu mengetahui perbedaan Bahasa Arab di kalangan setiap ahli masyarakat Arab. Jika dia sudah menguasai keseluruhan perkara-perkara tersebut, barulah dia layak memberi fatwa mengenai halal dan haram. Jika tidak, dia tidak layak untuk memberi fatwa.“ (Lihat “Al-Faqih wal Mutafaqqih” karangan Al-Khatib Al-Baghdadi m/s 6)